Sungguh beruntung orang yang banyak
diam
Ucapannya dihitung sebagai makanan pokok
Tidak semua yang kita ucapkan ada jawabnya
Jawaban yang tidak disukai adalah diam
Sungguh mengherankan orang yang banyak berbuat aniaya
Sementara meyakini bahwa ia akan mati
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu berkata,
”Seseorang mati karena tersandung lidahnya
Dan seseorang tidak mati karena tersandung kakinya
Tersandung mulutnya akan menambah (pening) kepalanya
Sedang tersandung kakinya akan sembuh perlahan.”
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam
kitab Shahih-nya (hadits no. 6474) dari Sahl bin Sa’id bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يَضْمَنَّ لِي مَابَيْنَ
لِحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
“Barang siapa bisa memberikan
jaminan kepadaku (untuk menjaga) sesuatu yang ada di antara dua janggutnya dan
dua kakinya, kuberikan kepadanya jaminan masuk surga.”
Yang dimaksud dengan “sesuatu yang
ada di antara dua janggutnya” adalah mulut, sedangkan “sesuatu yang ada di antara
dua kakinya” adalah kemaluan.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
“Barang siapa yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.” (Muttafaq
‘alaih: Al-Bukhari, no. 6018; Muslim, no.47)
Ibnu Hajar menjelaskan, “Ini adalah
sebuah ucapan ringkas yang padat makna; semua perkataan bisa berupa kebaikan,
keburukan, atau salah satu di antara keduanya. Perkataan baik (boleh jadi)
tergolong perkataan yang wajib atau sunnah untuk diucapkan. Karenanya,
perkataan itu boleh diungkapkan sesuai dengan isinya. Segala perkataan yang
berorientasi kepadanya (kepada hal wajib atau sunnah) termasuk dalam kategori
perkataan baik. (Perkataan) yang tidak termasuk dalam kategori tersebut berarti
tergolong perkataan jelek atau yang mengarah kepada kejelekan. Oleh karena itu,
orang yang terseret masuk dalam lubangnya (perkataan jelek atau yang mengarah
kepada kejelekan) hendaklah diam.” (lihat Al-Fath, 10:446)
Imam An-Nawawi rahimahullah
menyebutkan dalam Syarah Arbain, bahwa Imam Syafi’i rahimahullah
mengatakan, “Jika seseorang hendak berbicara maka hendaklah dia berpikir
terlebih dahulu. Jika dia merasa bahwa ucapan tersebut tidak merugikannya,
silakan diucapkan. Jika dia merasa ucapan tersebut ada mudharatnya atau ia
ragu, maka ditahan (jangan bicara).”
Sebagian ulama berkata,
“Seandainya kalian yang membelikan kertas untuk para malaikat yang mencatat
amal kalian, niscaya kalian akan lebih banyak diam daripada berbicara.”
Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti
berkata dalam kitabnya, Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala, hlm. 45,
“Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara, karena betapa
banyak orang yang menyesal karena bicara dan sedikit yang menyesal karena diam.
Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang
yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.
Beliau berkata pula di hlm. 47,
“Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya
daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi dua telinga, sedangkan
diberi hanya satu mulut, supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara.
Sering kali orang menyesal pada kemudian hari karena perkataan yang
diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Menarik
diri dari perkataan yang belum diucapkan itu lebih mudah daripada menarik
perkataan yang telah terlanjur diucapkan. Hal itu karena biasanya apabila
seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya.
Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol
perkataan-perkataannya.”
Beliau menambahkan di hlm. 49,
“Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak
berbicara, dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan
tersebut bermanfaat bagi dirinya maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak
bermanfaat maka dia akan diam. Sementara orang yang bodoh, hatinya berada di
bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya.
Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap
agamanya.”
Diriwayatkan oleh Bukhari dalam
kitab Shahih-nya, hadits no.10; dari Abdullah bin Umar radhiyallahu
‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ
الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Seorang muslim adalah seseorang
yang orang muslim lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya.”
Hadits di atas juga diriwayatkan
oleh Muslim, no. 64, dengan lafal,
إِنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيِّ الْمُسْلِمِيْنَ خَيْرً قَالَ مَنْ
سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Ada seorang laki-laki yang
bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Siapakah orang
muslim yang paling baik?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang yang orang-orang muslim
yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.’”
Hadits tersebut juga diriwayatkan
oleh Muslim dari Jabir, hadits no. 65, dengan lafal seperti yang diriwayatkan
oleh Bukhari dari Abdullah bin Umar.
Al-Hafizh (Ibnu Hajar Al-Asqalani)
menjelaskan hadis tersebut. Beliau berkata, “Hadits ini bersifat umum bila
dinisbatkan kepada lisan. Hal itu karena lisan memungkinkan berbicara tentang
sesuatu yang telah berlalu, yang sedang terjadi sekarang, dan juga yang akan
terjadi pada masa mendatang. Berbeda dengan tangan; pengaruh tangan tidak
seluas pengaruh lisan. Walaupun begitu, tangan bisa juga mempunyai pengaruh
yang luas sebagaimana lisan, yaitu melalui tulisan. Dan pengaruh tulisan juga
tidak kalah hebatnya dengan pengaruh lisan.”
Oleh karena itu, dalam sebuah syair
disebutkan,
“Aku menulis dan aku yakin pada saat aku menulisnya
Tanganku kan lenyap, namun tulisan tanganku kan abadi
Bila tanganku menulis kebaikan, kan diganjar setimpal
Jika tanganku menulis kejelekan, tinggal menunggu balasan.”
Tentang hadits (yang artinya),
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia
berkata baik atau hendaklah ia diam,” Imam Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah
mengatakan dalam Syarah Hadits Arbain, “‘Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan Hari Akhir‘, maknanya: siapa saja yang beriman dengan
keimanan yang sempurna, yang menyelamatkan dari azab Allah dan mengantarkan
kepada keridhaan Allah maka hendaklah ia berkata baik atau hendaklah ia diam.
Barang siapa yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang sebenarnya, ia
takut ancaman-Nya, mengharap pahala-Nya, berusaha mengerjakan apa yang
diperintahkan-Nya, dan meninggalkan segala yang dilarang-Nya. Kemudian
memelihara seluruh anggota tubuhnya yang menjadi gembalaannya, dan ia
bertangung jawab terhadapnya, sebagaimana firman-Nya,
إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوولًا
‘Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung-jawaban.’
(QS. Al-Isra’:36)
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا
لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
‘Tiada suatu kalimat pun yang
diucapkan melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.’
(QS. Qaf :18)
Yakni selalu mengawasinya dan
menyaksikan hal ihwalnya, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya,
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ(
)كِرَامًا كَاتِبِينَ( )يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ
‘Padahal sesungguhnya bagi kamu
ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi
Allah), dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa
yang kamu kerjakan.’ (QS. Al-Infithar:10–12)”.
Demikian pula, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang menyungkurkan leher manusia
di dalam neraka melainkan hasil lisan mereka.” (Dinilai shahih oleh
Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 5136)
”Siapa pun yang mengetahui hal
itu dan mengimaninya dengan keimanan yang sebenarnya maka ia bertakwa kepada
Allah berkenaan dengan lisannya, sehingga ia tidak berbicara kecuali kebaikan
atau diam.” (Tafsir As-Sa’di).
Semoga Allah selalu menjaga lisan
kita dari hal-hal yang tidak berguna, agar tidak menuai sesal di hari akhir
dengan tidak membawa amal sedikit pun dari jerih payah amal kita di dunia.
عن أبي هريرة : أن رسول الله صلى الله
عليه و سلم قال أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوْاالْمُفْلِسُ فِيْنَا يَا
رَسُو لَ اللَّهِ مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ قَالَ رَسُو لَ اللَّهِ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّيِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِصَلاَتِهِ وَصِيَامِهِ وِزَكَاتِهِ وَيَأتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا
وَاَكَلاَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ
حَيَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ
يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُحِذَ مِنْ خَطَايَاهُم فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرحَ
فِي النَّارِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu; bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah
kalian siapa orang yang bangkrut?”
Para shahabat pun menjawab, ”Orang
yang bangkrut adalah orang yang tidak memiliki uang dirham maupun harta benda.”
Beliau menimpali, ”Sesungguhnya
orang yang bangkrut di kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari
kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat, tetapi ia juga datang
membawa dosa berupa perbuatan mencela, menuduh, memakan harta, menumpahkan
darah, dan memukul orang lain. Kelak kebaikan-kebaikannya akan diberikan kepada
orang yang terzalimi. Apabila amalan kebaikannya sudah habis diberikan,
sementara belum selesai pembalasan tindak kezalimannya, maka diambillah dosa-dosa
orang yang terzalimi itu, lalu diberikan kepadanya. Kemudian dia pun
dicampakkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya, no.
2581)
Wallahul Musta’an.
Wahai Rabb, ampunilah dosa-dosa
hamba, bimbinglah hamba untuk senantiasa taat kepada-Mu dan masukkanlah kami
kedalam golongan orang-orang yang Engkau beri Rahmat.
Bandung, 18 Dzulhijjah 1434 H (1
November 2013 M).
Maraji’:
- Taisir Karimir Rahman, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
- Syarah Arbain An-Nawawi, karya Sayyid bin Ibrahim Al-Huwaithi.
- Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.
- Tazkiyatun Nafs, karya: Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dan Imam Al-Ghazali.
- Catatan pribadi kajian islam ilmiah “Waspada Bahaya Lisan” yang disampaikan oleh Al-Ustadz Muhammad Nuzul Dzikri, Lc. Hafidzahullah; Masjid Habiburrahman PT. DI, Bandung; Ahad, 27 0ktober 2013; diselenggarakan oleh Yayasan Ihya’us Sunnah Bandung bekerja sama dengan DKM Masjid Habiburrahman PT. DI.
- Almanhaj.or.id
Penulis: Umi Romadiyani (Ummu ‘Afifah)
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel Muslimah.Or.Id